Categories
Coffee Time

Kafe ini Menyajikan Kopi yang Umurnya Jauh Lebih Tua daripada Kakek Buyut Saya.

Kafe ini keren!

Bukan karena gaya bangunannya yang mempertahankan gaya kolonial Belanda. Bukan karena makanan atau minumannya yang enak (Cappuccino-nya super enak!). Pun bukan pula karena lokasinya yang sangat kekinian di kawasan Kayutangan Heritage Kota Malang.

Kafe ini keren karena cerita di belakangnya.

Jika Anda berkesempatan melancong ke kawasan Kayutangan Heritage Kota Malang, di sisi Barat jalan, mata Anda pasti akan tertambat oleh sebuah bangunan kuno dengan ornamen-ornamen unik terpampang di sisi luar bangunan. Dinding depan sisi atas bangunan kuno ini, dihiasi ornamen besar berbentuk tiga orang petani pria dan satu wanita yang berdiri saling menghadap ke sebuah bakul berisi tumpukan kopi berwarna-warni.

Lalu terpasang pula kanopi berwarna hijau yang sangat khas, sebagai teras sisi depan bangunan. Dinding bangunan kuno ini dipertegas tampilannya dengan cat warna merah bata gelap dengan garis-garis panjang sambungan semen yang dicat kontras warna putih, memberi kesan bangunan kuno yang masih menawan.

Namun bagi saya, yang paling memikat adalah angka tahun yang terpampang di bendera hijau sebagai logo tempat nongkrong ini.

All About Koffie by Kawisari — Est. 1870

Wow! Sejak tahun 1870? Bagaimana bisa? Indonesia saja belum merdeka. Bahkan, ayah dari almarhum kakek saya saja belum lahir.

Jadi tentu saja bukan kafe tersebut yang berdiri sejak tahun 1870. Namun sebuah perkebunan kopi yang ada di balik kafe inilah yang berdiri resmi dan berbadan hukum sejak tahun itu.

Racikan-racikan minuman kopi yang disajikan di kafe ini berasal dari sebuah perkebunan kopi, yang secara resmi berbadan hukum sejak tahun 1870. Bahkan sebenarnya, perkebunan kopi tersebut sudah dibangun jauh sebelumnya. Sejarah dari perkebunan inilah yang sangat menarik perhatian saya.

Sejarah Kopi Tugu Kawisari

Di tahun 1830, ketika nusantara masih dikuasai Belanda, dan kepulauan ini masih diberi nama Hindia-Belanda, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ketika itu yang bernama Graaf Johannes van den Bosch, mengeluarkan sebuah kebijakan yang sangat terkenal bernama Cultuur Stelsel, atau yang biasa ditulis ulang di buku-buku sejarah dengan nama Sistem Tanam Paksa.

Kebijakan itu, mewajibkan petani yang memiliki lahan untuk menanam 20% dari luas lahannya dengan komoditas ekspor seperti tebu, lada, hingga kopi. Namun pada kenyataannya, pejabat-pejabat lokal justru mewajibkan 100% lahan milik petani ditanami komoditas-komoditas itu, yang nanti hasil panennya wajib dijual ke pemerintah lokal Hindia-Belanda dengan harga murah yang sudah ditentukan sebelumnya.

Kebijakan yang sangat menyengsarakan ini, memaksa tak terkecuali para petani di area lereng Gunung Kawi ketika itu, untuk menanam tanaman-tanaman komoditas yang sudah ditentukan termasuk kopi. Menurut catatan sejarah, kopi menjadi komoditas paling menguntungkan bagi pemerintahan Belanda atas hasil penerapan Sistem Tanam Paksa ini. Kopi menyumbang keuntungan sebanyak 65 Juta Gulden hanya dalam rentang tahun 1840 hingga 1849 saja, jauh melampaui komoditas gula yang hanya memberi keuntungan sebesar 12 Juta Gulden dan Indigo yang hanya sebanyak sekitar 15 Juta Gulden dalam rentang tahun yang sama pula.

Namun demikian, sistem kejam ini tentu saja sangat menyengsarakan rakyat Hindia-Belanda. Tercatat dalam sejarah sistem ini mengakibatkan krisis kelaparan parah hingga mengakibatkan penyusutan populasi penduduk karena banyaknya korban kelaparan di berbagai daerah. Di daerah Grobogan, Jawa Tengah misalnya, sembilan dari sepuluh penduduk daerah tersebut tewas akibat terjadi berbagai perlawanan sekaligus bencana kelaparan. Bayangkan saja, jika Anda menjadi satu-satunya orang yang masih hidup di jaman itu, dari yang sebelumnya ada sepuluh orang sanak saudara dan tetangga, kini tinggal Anda sendiri saja yang masih hidup. Sangat mengerikan!

Ketidakadilan tersebut mendorong parlemen Belanda mendesak agar Sistem Tanam Paksa segera diakhiri. Maka secara resmi, sistem tersebut dihentikan pada tahun 1870, namun faktanya sistem tersebut masih banyak di terapkan di berbagai daerah hingga awal abad ke-20.

Setelah berakhirnya Sistem Tanam Paksa, pemerintah Hindia-Belanda merombak sistem perkebunan dan perdagangan melalui sebuah aturan bernama Agrarische Wet, atau yang terkenal di buku-buku sejarah sebagai Hukum Agraria. Sehingga ketika itu pihak swasta diijinkan untuk menyewa lahan perkebunan milik pemerintahan Hindia-Belanda dengan kontrak jangka panjang hingga 75 tahun, dan 20 tahun kontrak sewa untuk lahan perkebunan milik petani lokal.

Di tahun 1870 itulah perkebunan kopi di lereng Gunung Kawi yang sebelumnya diperas oleh Sistem Tanam Paksa, menjadi diorganisir oleh swasta dan berbadan hukum dengan nama Rubber Onderneming Sengon. Perusahaan yang juga mengelola perkebunan sengon dan karet ini dipimpin oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama J.T. Barkmeijer. Tercatat di tahun 1900, Rubber Onderneming Sengon sudah mengelola lahan seluas 850 hektar, yang ditanami kopi, sengon, dan karet.

Masuk ke era tahun 1900-an, di Batavia saat itu berdiri sebuah klub eksklusif yang ketika itu disebut sebagai klub eksklusif terbesar se-Asia Tenggara. Klub yang bernama Societeit de Harmonie te Batavia ini diketahui telah menjadi pelanggan tetap kopi Kawisari selama bertahun-tahun. Hal itu terjadi tak hanya berkat keahlian Barkmeijer dalam menjaga kualitas biji kopi Kawisari, namun juga berkat keahlian sepasang Cina Peranakan bernama Ong Ting dan Ong Liang yang sangat piawai dalam meracik campuran kopi sesuai dengan permintaan sang ahli masakan dari Societeit de Harmonie te Batavia.

Kerjasama Barkmeijer dengan Societeit de Harmonie te Batavia yang terjalin cukup lama ini, menginspirasi Barkmeijer untuk membangun sendiri club eksklusifnya sendiri di area perkebunan. Maka lahirlah Societeit de Harmonie te Kawisari di daerah Wlingi, Blitar.

Di masa kejayaannya, klub Societeit de Harmonie te Kawisari membangun kesan elegan dan disebut-sebut setara dengan Kafe Maxim di Paris, tempat di mana orang wajib datang untuk “dilihat”, sangat mirip dengan konsep “kekinian” yang populer saat ini. Salah satu keunikan lain dari klub tersebut adalah menjadi pilihan dari Madam Margarethe, yang gemar menulis surat kepada Agatha Christie, salah satu penulis legendaris yang seolah masih hidup karena novel-novelnya yang terus dibaca hingga saat ini.

Namun kondisi politik dan peperangan kemerdekaan terus meluas setelah masa itu. Hingga pada puncaknya, para pejuang kemerdekaan Indonesia membakar pelabuhan Probolinggo yang ketika itu ikut terbakar kopi dan hasil karet dari perkebunan Kawisari yang siap ekspor. Diketahui kerugian yang diakibatkan kebakaran tersebut sangat memukul kondisi ekonomi pemilik perkebunan. Maka sejak saat itu, Rubber Onderneming Sengon termasuk klub mewah Societeit de Harmonie te Kawisari ditutup untuk selamanya.

Setelah masa kemerdekaan, perkebunan kopi Kawisari dikelola oleh PT. Dewi Sri, Pkb. Sengon. Kemudian sejak awal abad ke-21 perusahaan tersebut masuk ke dalam manajemen Tugu Group, yang sangat tersohor mengelola beberapa hotel dengan konsep menonjolkan sisi sejarah dan seni lokal, termasuk salah satunya Hotel Tugu di Kota Malang. Manajemen Tugu Group menghidupkan kisah sejarah kopi Kawisari dengan menyajikan kopi racikan spesialisnya di restoran-restoran Hotel Tugu dan membuka beberapa kafe bernuansa khas kolonial di Jakarta, Bali, dan tentu saja All About Koffie by Kawisari di Malang.

Tinggalkan Jejak Anda di Sini