Categories
Resensi Buku

Perangkap Kemewahan | Resensi Buku #26: Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia karya Yuval Noah Harari (Part 1)

Saya adalah salah satu Apple Fan Boy. Saya memakai iPhone sejak generasi 3Gs, lalu beberapa kali terpaksa harus upgrade karena memang iPhone sebelumnya sudah tidak mampu lagi diajak kompromi. Saya juga memiliki dua iPad, satu iPad mini generasi pertama, dan yang satu lagi iPad Pro 2018 yang saya pakai untuk menulis tulisan ini.

Sekalipun saya akui saya adalah AFB, tapi sebenarnya tidak fan-fan amat sih. Saya bukan orang yang selalu upgrade gawai jika ada iPhone keluaran terbaru. Bahkan saya pun sama sekali tidak berminat memiliki Apple Watch. Saya pengguna iPhone karena saya tahu bagaimana kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh para desainer dan ilmuwan di balik Apple sangat memudahkan saya untuk bekerja. Kemudahan-kemudahan itu begitu memanjakan saya sehingga sekali saja saya sempat memiliki ponsel Android, saya tidak pernah memakainya lagi. Saya merasa sangat aneh karena sudah terlanjur terlalu terbiasa dengan iPhone.

Racun-racun Apple pun saya tularkan ke istri saya. Hingga dia akhirnya mengikuti saya memakai iPhone 6 sebagai iGadget pertamanya, berlanjut dengan iPhone 12 sejak dua tahun lalu. Dan sebagai bonus dari saya, saya berlangganan Apple Music Family dan iCloud berkapasitas 200GB yang bisa kami pakai bersama-sama berdua.

Ngomong-ngomong tentang layanan penyimpanan berbasis komputasi awan, sebut saja iCloud, layanan ini menawarkan kemudahan yang sangat berguna bagi saya dan bisa jadi bagi Anda juga. Bagaimana mudahnya kita menyimpan berbagai macam file di flashdisk yang fisiknya seolah tidak ada, lalu kita bisa mengunduhnya dari mana saja, lewat gawai mana saja.

iCloud membantu meringankan kapasitas penyimpanan iPhone kita karena semua file foto dan video yang kita ambil menggunakan kamera iPhone akan tersimpan di server awan. Saat ini, saya menyimpan sekitar 60GB foto dan video di iCloud, sehingga penyimpanan iPhone saya bisa sepenuhnya saya isi dengan mengunduh musik-musik berkualitas Hi-Ress Lossless yang bisa menyita penyimpan hingga 200MB hanya untuk satu lagu Dream Theater.

Lalu masalah pun muncul ketika iPhone istri saya menyimpan lebih banyak foto dan video di iCloud. Dan penyimpanan 200GB pun penuh. Jika ini terjadi pada Anda, apa yang akan pilih? Berlangganan iCloud 2TB alias 2.000 GB, 10 kali lipat lebih banyak dengan harga berlangganan hanya naik sekitar 3 kali lipat, atau Anda memiliki cara lain?

Saya melihat fenomena ini dari sudut pandang lain, tepat ketika saya sedang membaca buku karya Yuval Noah Harari berjudul Sapiens. Kemudahan-kemudahan yang dibuat oleh manusia, sepanjang sejarah lahirnya Homo sapiens hingga saat ini, selalu menyimpan konsekuensi-konsekuensi yang merepotkan dibaliknya.

Tidak terkecuali dengan kasus penyimpanan iCloud yang saya alami kali ini. Saya memilih cara tradisional, saya melakukan backup.

Saya memilih untuk mengunduh file-file foto dan video itu dari iCloud, dan memindahnya ke hard disk eksternal saya. Dan jika Anda pernah mengalaminya sendiri juga, mengunduh file sebanyak 60GB dengan kualitas wifi indihome kita saat ini, adalah sebuah pekerjaan yang sangat menyita waktu dan kesabaran kita.

Hal inilah yang disebut oleh Yuval sebagai Perangkap Kemewahan. Ketika kita seolah-olah dibuat mudah dengan sebuah inovasi teknologi terbaru, akan tetapi ada konsekuensi merepotkan yang sering kali tidak kita disadari. Perangkap Kemewahan bukan hal yang baru bagi umat manusia. Menurut Yuval, Perangkap Kemewahan sudah muncul sejak Homo Sapiens melakukan sebuah terobosan yang kita kenal sebagai Revolusi Pertanian.

Jika melihat dari sudut pandang manusia, singkat cerita, Revolusi Pertanian memudahkan manusia-manusia di jaman sekitar 10.000 tahun yang lalu, yang ketika itu karena jumlah anggota keluarga yang harus mereka rawat semakin banyak, memaksa mereka untuk mencari cara agar bisa mendomestikasi hewan-hewan buruan maupun tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Namun Yuval mengajak kita untuk melihat dari sudut pandang sebaliknya. Bayangkan saja jika kita berada di posisi tanaman gandum, yang sebelumnya hanya tumbuh liar dan berkumpul hanya dengan beberapa kerabat saja di sebuah sudut hutan atau semak-semak. Manusia yang melihat gandum itu, menemukan secara tidak sengaja jika biji gandum yang jatuh di tanah bisa tumbuh besar juga.

Maka singkat cerita gandum memaksa manusia untuk menanam bibit-bibit gandum secara komunal dan lebih banyak di sebuah lahan. Bahkan gandum sangat berterima kasih kepada manusia karena dibantu dengan membakar tanaman-tanaman lain, untuk membangun ladang gandum yang lebih luas. Setelah api padam, beruntungnya bibit-bibit gandum itu karena manusia bekerja banting tulang untuk mengolah tanah sebelum siap ditanami mereka.

Tidak sampai di situ saja, gandum-gandum yang mulai meninggi, sangat tidak suka jika di sela-sela antara mereka tumbuh tanaman-tanaman lain yang akan mengurangi jatah makanan mereka dari tanah. Maka gandum memaksa manusia untuk secara rutin mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di antara mereka. Jika tidak, manusia harus ikhlas mendapati gandum mereka tidak tumbuh besar alias gagal panen.

Akan tetapi itu belum semuanya. Apa Anda sadar bagaimana manusia harus tersandera karena mereka juga harus memenuhi kebutuhan air gandum-gandum itu? Setiap hari, berember-ember air harus dipikul manusia untuk mengairi lahan mereka yang besar.

Tahun demi tahun berlalu. Kerabat manusia pun bertumbuh dan bertumbuh. Maka kebutuhan akan gandum pun akan semakin banyak. Lahan gandum yang harus diairi dan dicabuti rumputnya oleh manusia juga semakin luas.

Sekarang mari kita kembali menjadi manusia, dan mari kita simak cara hidup manusia sebelum terjadinya Revolusi Pertanian berikut ini.

Sebelum berkebun, berladang, atau bertani, manusia hidup sebagai pemburu dan pengumpul. Mereka biasa berburu, tidak harus setiap hari, asalkan kebutuhan makan terpenuhi. Manusia membutuhkan hanya beberapa jam saja untuk bisa menemukan dan membunuh seekor rusa, yang bisa menghidupi mereka beserta keluarga kecil dalam beberapa hari ke depan.

Maka mana yang lebih mudah? Jika melihat dari sudut pandang waktu, tentu saja manusia lebih mudah jika hidup menjadi pemburu-pengumpul saja. Namun ketika Revolusi Pertanian terjadi, dengan segala kerepotan yang dihadapinya, mengapa manusia tidak kembali saja hidup sebagai pemburu-pengumpul?

Revolusi Pertanian tidak bisa disamakan dengan revolusi-revolusi lain yang kita kenal. Revolusi Industri yang mulai terjadi di pertengahan abad ke-18, membutuhkan waktu setidaknya satu abad untuk bisa menggantikan berbagai macam pekerjaan manual menjadi mesin. Sedangkan Revolusi Pertanian, sesuai dengan yang disampaikan oleh Yuval di dalam bukunya itu, diperkirakan dimulai di Timur Tengah sekitar 9.000 tahun silam, dan baru menyebar ke benua Amerika sekitar 4.500 hingga 2.000 tahun yang lalu. Tidak seperti Revolusi Industri, Revolusi Pertanian membutuhkan waktu ribuan tahun untuk bisa menular ke benua lain.

Maka dari itu, ketika manusia direpotkan oleh gandum-gandum mereka, unta-unta mereka, atau domba-domba mereka, mereka tidak sadar akan hal itu. Karena Revolusi Pertanian terjadi dalam kurun waktu yang melewati banyak generasi manusia. Pun juga, manusia sudah kadung beranak pinak sehingga ladang-ladang gandum mereka sudah harus menghidupi lebih banyak anggota keluarga.

Sadar tak sadar, Perangkap Kemewahan terus kita alami hingga saat ini. Salah satu contoh adalah cerita saya tentang kenyamanan menggunakan iCloud di atas. Dan itu hanya satu contoh kecil saja. Masih banyak contoh-contoh lainnya.

Seperti yang diangkat oleh Yuval di salah satu paragraf di halaman 105 buku Sapiens.

Upaya mencapai kehidupan yang lebih mudah menimbulkan lebih banyak kesusahan, dan bukan untuk kali terakhir. Itu terjadi juga kepada kita kini. Berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi yang mengambil pekerjaan penuh tuntutan di perusahaan-perusahaan ternama, bersumpah bahwa mereka akan bekerja keras demi memperoleh uang yang akan memungkinkan mereka pensiun dan mengejar minat sejati ketika berusia tiga puluh lima tahun? Ketika mereka mencapai usia itu, mereka ternyata sudah memiliki utang KPR yang besar, anak-anak yang harus disekolahkan, rumah di pinggiran kota yang mengharuskan setiap keluarga punya setidaknya dua mobil, dan perasaan bahwa kehidupan tidak layak dijalani tanpa anggur yang benar-benar enak dan liburan mahal di luar negeri. Apa yang harus mereka lakukan, kembali menggali umbi-umbian? Tidak, mereka melipatgandakan upaya dan terus menghambakan diri.

Yuval Noah Harari, Sapiens, h. 105.

Saya membaca bagian mengenai Perangkap Kemewahan tersebut seperti tersadar. Bukannya saya akan membeli ponsel yang lebih murah, bukan, akan tetapi saya tidak akan menyusahkan diri saya mengunduh foto dan video saya dari iCloud berukuran dua terrabyte jika saja sepuluh tahun lagi penyimpanan itu ternyata penuh. Tidak. Saya tidak akan melakukan hal itu. Saya akan tetap memakai iCloud 200GB saja dan akan rutin memindahkan data-data itu ke hard disk saya.

Salam Manfaat,

Onny

Tinggalkan Jejak Anda di Sini