Categories
Resensi Buku

Resensi Buku #9-19: ……….. (banyak) ……….. (Bagian 1)

F56C1533-8D62-4312-86CB-2326D2689E81

Anda pasti merasa pusing melihat tumpukan buku di atas.

Setidaknya kepala saya yang pening, karena buku-buku itulah yang selama beberapa bulan terakhir ini menghiasi otak saya.

Singkat cerita, kemarin salah seorang rekan kerja saya mendatangi saya. Lalu ia bilang begini, “Bro, tulisan ente ternyata bagus juga ya.”

Hahahahaa..

Apa nggak langsung gede ini kepala botak saya? 😂

Ternyata dia cerita kalo baru baca artikel terakhir saya tentang resensi buku karya Alec Ross ini. Dan dia berniat minjem tuh buku.

Hahahaa,, selalu ada udang dibalik rempeyek.

Tapi dibalik cerita itu semua, hati kecil saya menjadi sedikit merasa bersalah karena beberapa bulan terakhir saya tidak nulis apapun di blog. Jangankan di blog. Situs utama saya Artikel-Teknologi.com aja cuman berhasil nulis satu judul setahun terakhir ini.

Payah kan?!😅

Alasannya simpel sih, saya lagi belajar bisnis. Makanya tumpukan buku yang saya foto tadi pagi ini mayoritas bertema bisnis dan marketing.

Alasan yang sederhana itu menjalar ke alasan yang lain: saya belum menemukan benang merahnya.

Bener emang kata orang Jawa ya. “Alas sing paling ombo kuwi pancen siji: alasan.” —“Hutan (alas) yang paling luas itu memang hanya satu: alasan.”

Hahahahaa…

Tapi beneran! Memang begitulah kenyataannya.

Ya, bisnis bisa dipelajari. Ya, bisnis ada sekolahnya. Ya, sekitar 25% penduduk Indonesia hidup dari dunia bisnis (baca: UMKM).

Tapi jujur, masuk ke dunia bisnis ini seperti nyemplung ke dalam samudera luas yang kalo ga dipersiapkan kapal selam ilmu yang kuat atau minim perlengkapan selam yang berkualitas, bisa dipastikan baru sekali tarikan napas di dalam air aja kita bisa mati sia-sia.

Sekitar 3 tahun yang lalu istri saya tercinta (eaaaa…) memulai bisnis kecil-kecilan di bagasi mobilnya. Ia jualan pakaian dalam.

Yes, that’s it! CD, bra, lingerie, pakaian senam, dan teman-temannya.

Di luar dugaan, tanggapan pasar yang saat itu baru teman-teman kantornya sudah bagus. Bisa dibilang sangat bagus.

Apa indikatornya?

Pas istri saya pindah tugas kantor, banyak teman-temannya yang nyariin.

Cukupkah indikator ini? Saya ga tau. Setidaknya itu jawaban saya ketika itu.

Untuk memastikannya saya berguru ke teman saya di Malang yang sudah lama berbisnis. Yang ketika itu dia bahkan sudah 4.0. Duh, apa lagi ini?

Bisnis teman saya ini sudah pakai teknologi marketing modern. Singkat cerita, dia sudah pakai analisis pasar konkrit dibantu dengan Kecerdasan Buatan. Sehingga hasilnya akan jauh lebih tepat sasaran. Begitulah 4.0. Maka sebut saja teman saya ini tadi teman 4.0.

Sungguh, ketika saya ngobrol berdua dengan dia rasanya kepala mau pecah 🤯.

Gimana nggak. Di saat saya melihat banyak bisnis ritel rekan saya yang lain tutup karena fenomena disrupsi, bisnis ritel teman 4.0 saya yang satu ini malah berjaya. Hingga sudah membuka 9 cabang di beberapa kota berbeda. Dan bisnisnya, tetap bisnis ritel. Jual beli konvensional. Tapi dibalik itu sangat modern.

Cerita itulah yang membuat saya penasaran. Pasti ilmu bisnis ini benar-benar ada. Bukan asal buka toko dan memasang pengharapan kepada Tuhan “semogaaaa, hari ini lebih laris daripada kemarin.” Pasti ada usaha cerdas dibalik itu.

Berpetualanglah saya ke lembaran-lembaran buku bisnis. Dari karya-karya Hermawan Kartajaya, Rhenald Kasali, Alex Osterwalder, hingga anak muda hebat bernama Alfan Robbani yang saat saya mengetik tulisan ini, ia masih berusia 21 tahun dan sudah memimpin ratusan karyawan.

Kalau boleh saya bagi, ada dua fase belajar yang saya lakukan sejak akan membuka toko, hingga saat ini. Fase pertama adalah ketika saya akan membuka toko, yang kedua adalah sejak toko buka hingga sekarang.

Fase Sebelum Buka Toko

Apa yang saya pelajari sebelum saya membuka toko? Buku-buku ini yang saya baca:

  • Self Disruption by Rhenald Kasali
  • Citizen 4.0 by Hermawan Kartajaya (edisi ebook Gramedia Digital), dan
  • Value Proposition Design by Alex Osterwalder et al. (Saat itu baru bisa dapat versi pdf gratisannya 🤭. Tapi sekarang sudah ada versi resmi terjemahan Bahasa Indonesia terbitan Gramedia. Dan saya sudah beli cetakan pertamanya 😎. Yes! Cetakan pertama!)

Self Disruption by Rhenald Kasali

Anda pasti merasa senang ketika Anda berhasil mendapatkan tanda tangan salah satu penulis buku-buku favorit Anda.

F94273BF-C54D-4850-ADC5-9A9B561E4DFA

Hihihihihiii…

Yesss! Saya dapat tanda tangannya Prof. Rhenald Kasali. 😁

Buku yang ditandatangin beliau ini berjudul Self Disruption. Saya mendapatkannya ketika saya dan istri mengikuti Suara Surabaya Economic Forum 2019.

Singkat cerita. Buku ini berbicara tentang usaha-usaha sebuah bisnis untuk mendisrupsi dirinya sendiri, agar dapat bertahan di era disrupsi saat ini.

Contoh sederhananya gampang. Ingat cerita singkat saya tentang bisnis beberapa teman saya yang harus tutup karena tidak mampu bertahan menghadapi era disrupsi?

Yah! Begitulah kondisi saat ini. Kalo kita nggak mau ikut berubah (baca saja: ikut mendisrupsi diri kita sendiri), maka pasti perubahan jaman yang sifatnya kekal ini akan menelan kita bulat-bulat.

Di dalam buka Self Disruption, Prof. Rhenald Kasali memberi satu contoh perusahaan yang sejauh ini berhasil bertahan menghadapi pola perubahan yang ada. Perusahaan tersebut adalah Adaro. Sebuah perusahaan yang awalnya hanya fokus pada penambangan batubara, lalu mendisrupsi dirinya sendiri sehingga sekarang sudah menjadi grup perusahaan yang membawahi beberapa sektor bisnis termasuk pembangkit energi listrik (PLTU), sektor distribusi tambang, hingga usaha alat-alat berat.

Dengan konsep ini, Adaro berhasil bertahan dari bencana anjloknya harga batubara akibat penemuan teknologi fracking (Hydraulic Fraturing), yang membuat harga minyak bumi menjadi sangat murah lagi. Di saat banyak perusahaan batubara besar kolaps, Adaro berhasil bertahan karena berhasil menguasai sektor bisnis dari hulu hingga hilir, dari yang sebelumnya hanya folus di penambangan batubara.

Apa kesimpulannya?

Saya buat sederhana saja. Kalo mau masuk kuadran 3 (Business Owner ala Robert T Kiyosaki), ya harus ancang-ancang supaya bisa sustain. Harus adaptif. Harus siap dengan perubahan. Harus anti dengan anti-perubahan.

Citizen 4.0 by Hermawan Kartajaya

Buku ini disarankan oleh teman 4.0 saya sebelum saya membuka bisnis. Saya yang lagi semangat-semangatnya pengen belajar bisnis, langsung aja saya beli ebook-nya di aplikasi Gramedia Digital karena belum ada kesempatan ke toko buku ketika itu.

Anda tahu apa harapan saya? Dari buku ini saya bisa langsung dapat resep sukses 4.0-nya.

Ya mana mungkin Bapaaaaak… Hahahahaa,, mana mungkin dapat ilmu 4.0 langsung dalam semalam?

Jelas sekali saya salah besar!

Citizen 4.0 ini adalah karya Hermawan Katajaya, Bapak Marketing Indonesia (banyak yang bilang seperti itu), yang diluncurkan dalam rangka memperingati ulang tahun Hermawan ke-70 ketika itu di tahun 2017.

Isinya? Sangat religius! Sangat humanis! Banyak memberi pesan kepada kita semua agar semakin bertambahnya usia, maka ayok-lah semakin memberi manfaat kepada sesama sebanyak-banyaknya.

Dalam buku ini Hermawan membagi fase hidup manusia menjadi 4 passion:

  1. Passion for Knowledge
  2. Passion for Business
  3. Passion for Service
  4. Passion for People

Hasrat-hasrat tersebut, seakan seperti gambaran tahapan pengabdian kita semasa hidup. Intinya adalah, jika Anda ingin mengeruk rejeki dari bisnis, atau dari apapun, jangan lupakan bahwa akhirnya kita adalah manusia. Human. Yang harus selalu humanis. Bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi sebanyak-banyaknya lingkungan sekitar.

Jadi rupanya ini pesan dari teman 4.0 saya. Jangan lupakan asal-muasalmu!

Value Proposition Design by Alex Osterwalder et al.

Nah! Buku inilah yang jadi petunjuk jalan utamanya!

Jika satu buku sebelumnya adalah rambu-rambu peringatan, dan satu buku yang lain adalah pondasi motivasi, maka buku Value Proposition Design (VPD) ini adalah buku yang akan menunjukkan jalannya.

Jalan menjalankan bisnis. Konkrit!

Buku ini merupakan salah satu seri dari buku yang sudah saya miliki beberapa tahun sebelumnya — dan yang selama bertahun-tahun saya tidak menyadari kalau buku tersebut buku hebat — yakni buku Business Model Generation.

VPD menjelaskan sekaligus memberi arahan dengan lebih mudah bagaimana dua komponen utama Business Model Canvas, yaitu komponen Customer Segment dengan Value Proposition bisa klop bertemu.

Pasti Anda sudah paham kan, kalo yang namanya bisnis, produk/jasa yang kita tawarkan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Kalo ga sesuai? Mana bisa laku? Begitu intinya buku ini. Dan VPD menawarkan sebuah metode yang langsung saat itu juga bisa kita praktekan.

Di dalam buku ini diperkenalkan sebuah kanvas dengan sebutan Value Proposition Canvas, yang terdiri atas dua komponen utama yakni Value Map dan Customer Profile.

Kita mulai dengan Customer Profile dulu.

Customer Pofile berisikan tiga ruang kosong yakni ruang Customer Jobs, Gains, dan Pains. Jobs adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh konsumen kita untuk mendapatkan produk yang kita jual. Gains berisikan harapan-harapan konsumen yang ingin didapatkan dari produk yang ia beli. Sedangkan Pains, berisikan kesulitan maupun hambatan yang mungkin dihadapi ketika membeli produk kita.

Sedangkan sisi Value Map, berisikan pula tiga kolom kosong yaitu Products and Service (berisikan produk/jasa yang kita jual), Gain Creators (berisikan nilai-nilai yang kita tawarkan), serta Pain Relievers (berisikan usaha-usaha kita untuk mengatasi masalah-masalah konsumen).

Nah…

Konsep inilah yang ketika itu berusaha saya kembangkan. Saya beserta istri memulai semuanya dari kanvas ini. Kami mengisi semua kolom. Memprediksi apa-apa yang menjadi masalah calon konsumen. Memprediksi nilai-nilai apa yang diharapkan mereka. Lalu mengembangkan nilai-nilai dan obat bagi hambatan konsumen ketika mereka berbelanja pakaian dalam.

Ya, pakaian dalam… 👙

Silahkan follow saja instagramnya kalau tidak percaya ➡️ @queen_keeza

Berhubung ternyata jadi cerita panjang, saya lanjutkan untuk buku-buku tahap setelah toko buka di halaman yang lain saja ya.

😎

Tinggalkan Jejak Anda di Sini