Categories
Resensi Buku

Tiga Macam Realitas Manusia | Resensi Buku #26: Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia karya Yuval Noah Harari (Part 2)

Saya bekerja di tempat ini sejak tahun 2008. Sejak itu, dan hingga sekarang, saya merasa sangat beruntung bisa bekerja di tempat yang nampak dari tepi jalan seperti dunia dongeng ini. Itu karena kawasan pembangkit listrik ini sangat terkenal akan penampakannya yang sangat indah di malam hari ketika kita melintas di jalur pantai utara perbatasan antara Kabupaten Probolinggo dengan Kabupaten Situbondo. Gemerlap lampu yang berpendar dari bangunan-bangunan tinggi pembangkit listrik itu memancarkan pemandangan sangat indah, seolah sebagai simbol kemajuan kepintaran manusia merekayasa hukum-hukum alam demi kemaslahatan bersama.

Bagaimana kemampuan kita untuk mengenali benda-benda di depan kita, termasuk keindahan pembangkit listrik di malam hari, gedung-gedung pencakar langit, atau benda alam seperti awan, lautan, gunung, pohon cemara, jerapah, maupun tikus, adalah sebuah kemampuan mengenali realitas yang dikenal sebagai realitas objektif.

Realitas objektif adalah kemampuan kita untuk mengenal hal-hal atau benda-benda yang ada di luar diri kita. Realitas ini secara nyata ada, terlepas dari seseorang apakah akan mengakuinya atau tidak.

Sekarang mari kita ungkit sedikit bagaimana kita mengenal diri kita sendiri. Seperti ketika saya pribadi merasa beruntung bisa berkesempatan bekerja di tempat saya saat ini. Atau bagaimana ketika Anda terkagum-kagum akan keindahan tempat kerja saya hingga Anda ingin berhenti menepi untuk berswafoto. Atau bagaimana kita bisa merasa lapar, haus, atau takut, sehingga kita akan makan ketika lapar, minum ketika haus, dan mencari keamanan ketika merasa takut.

Hal-hal tersebut, yaitu bagaimana kita bisa mengenal rasa, atau bagaimana kita bisa mengenali isi pikiran kita, disebut sebagai realitas subjektif. Realitas subjektif adalah realitas yang hanya ada dalam pikiran manusia, seperti keyakinan, nilai, hingga konsep-konsep abstrak seperti kebebasan atau kebahagiaan. Realitas subjektif ini hanya berlaku bagi satu individu manusia atau maksimal hanya sekelompok kecil manusia yang mempercayainya, dan juga bisa berbeda-beda antara satu individu atau kelompok dengan yang lain.

Sesuai dengan namanya, subjektif, realitas ini sangat tergantung dari individu masing-masing. Sebagai contoh, misalnya Anda hidup di Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langitnya, sudah pasti Anda sangat terbiasa dengan pemandangan sehari-hari itu. Namun berbeda dengan saya yang jarang mengunjungi ibukota, sehingga pasti ketika melihat pemandangan gedung-gedung tersebut ada perasaan takjub yang sudah tidak pernah lagi Anda rasakan.

Atau kita ambil contoh lain. Mungkin ada salah satu dari Anda memelihara anjing, maka sudah pasti Anda tidak akan takut dengan anjing itu. Sekalipun ketika Anda bertemu dengan anjing bukan milik Anda, pasti Anda jauh lebih tenang ketimbang saya, karena Anda sudah sangat terbiasa menghadapi hewan lucu itu. Sangat berbeda dengan saya yang tidak terbiasa dengan anjing. Beberapa kali saya santai berjalan keliling kompleks perumahan, yang ada salah satu tetangga saya memelihara tiga ekor anjing. Mendengar anjing itu menyalak saja dalam hati saya sudah menahan rasa takut. Rasa takut itu tidak besar, tapi tetap saja jika tiba-tiba anjing itu berhasil melompati pagar rumahnya dan mengejar saya, saya akan lebih memilih lari secepat kilat ketimbang berjongkok untuk mengelus-elus bulunya yang lucu.

Dua realitas itu, realitas objektif dan subjektif, dialami tidak hanya oleh manusia. Diduga kuat, hewan juga mengalami dua realitas tersebut, meskipun dengan caranya sendiri. Namun hal ini masih perlu penelitian-penelitian lanjutan untuk membuktikannya secara empiris.

Namun mari kita ambil contoh sederhana saja. Ulat misalnya, bisa dipastikan ulat selalu makan daun, dan bukan plastik sampah. Namun bagaimana cara ulat “memikirkan” mana daun yang bisa ia makan dan mana plastik, sampai sekarang ilmuwan belum bisa mengetahuinya. Namun itu membuktikan jika ulat mengenali dua benda di luar dirinya itu. Sering kita menganggap itulah yang dinamakan naluri hewan.

Sebuah penelitian di era 1960-an dilakukan oleh seorang ilmuwan bernama Harry Harlow. Penelitian ini menjadi terkenal karena metodenya yang bisa dikatakan kejam. Harlow dengan sengaja memisahkan dengan paksa bayi monyet dari induknya, sesaat setelah bayi itu lahir. Lalu Harlow meletakkan dua boneka besi di dekat bayi monyet itu. Satu boneka diberi badan berbahan kawat besi dengan kepala aneh berbentuk monyet jadi-jadian, tetapi ada dua botol susu lengkap dengan nipple untuk menyusu. Sedangkan boneka besi lainnya dipasangi mantel berbulu lembut di sekujur badannya.

Tahukah apa yang terjadi ketika bayi monyet lapar itu dipertemukan dengan kedua boneka aneh tersebut?

Secara mengejutkan, bayi monyet itu ternyata tidak memilih boneka berbadan besi yang memiliki botol susu. Bayi monyet itu tidak serta merta menuruti rasa lapar yang ia rasakan. Bayi monyet itu jutru dengan spontan memeluk boneka monyet berbulu lembut seolah-olah itu adalah induknya. Bahkan ketika bayi monyet itu meminum susu di boneka besi sebelahnya, sebagian tubuh dan kakinya tidak melepaskan diri dari boneka berbulu.

Apa keterkaitan penelitian ini dengan realitas subjektif hewan?

Jelas sekali jika mamalia yang diwakili oleh bayi monyet itu, punya kebutuhan kasih sayang akan induknya, yang bahkan besarnya bisa melebihi kebutuhan akan makanan.

Hal tersebut membuktikan jika monyet bisa membedakan mana benda nyaman, dan mana sumber makanan. Namun lebih jauh lagi, monyet rupanya memiliki realitas kebutuhan akan kasih sayang dari induknya.

Jika manusia dan hewan sama-sama memiliki dua macam realitas, realitas objektif dan subjektif, lalu apa bedanya antara manusia dengan hewan? Mengapa manusia dianggap lebih cerdas dari monyet? Mengapa hingga saat ini tidak ada cerita dimana monyet melakukan penelitian terhadap manusia?

Jika manusia diciptakan sebagai makhluk berakal, maka apa itu akal? Dan bagaimana akal itu bisa membuat kita sangat berbeda dengan hewan?

Yuval Noah Harari menjelaskan melalui bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, tentang adanya realitas ketiga yang dialami oleh manusia. Realitas tersebut bersifat fiksi, namun karena diyakini secara komunal oleh banyak individu lain, maka hal fiktif tersebut menjadi realitas yang seolah benar-benar ada. Mari kita sebut saja realitas ini dengan realitas fiksi kolektif.

Mari kita ambil satu contoh realitas fiksi kolektif yaitu sebuah perusahaan korporasi bernama Apple Inc.

Apple didirikan oleh duo Steve di tahun 1976, dan berbadan hukum di tahun 1977 dengan nama perusahaan Apple Computer Inc. Sejak saat itu, Apple tumbuh naik turun hingga menjadi merek paling berharga di beberapa tahun terakhir ini. Apple telah memroduksi berbagai macam alat elektronik berbasis komputer sejak komputer Apple I, Apple II, iPod, iPhone, Macbook, iPad, Airpod, dan masih banyak lagi.

Sekarang mari kita perhatikan hal berikut ini.

Saya membeli iPhone 3GS di tahun 2010, dan ponsel pintar tersebut sudah lama tidak saya pakai karena mati total. Lalu, karena hal itu apakah perusahaan Apple tutup? Tentu saja tidak. Apple telah memroduksi berbagai jenis iPhone baru yang jauh lebih modern dan canggih.

Sekarang mari kita ambil contoh lain yang lebih ekstrim.

Ketika Steve Jobs, sang pendiri Apple, yang saat itu masih menjabat sebagai CEO Apple Inc. meninggal dunia di tahun 2011, apakah serta merta Apple tutup?

Ternyata tidak. Apple masih terus hidup, dan bahkan semakin berjaya. Apple masih tetap Apple yang seolah punya karakter tersendiri yang sangat spesifik.

Lalu ingatkah Anda di era tahun 2010-an ketika Apple berkali-kali “bertanding” melawan Samsung di arena pengadilan hanya gara-gara saling memperebutkan hak paten? Sadarkah Anda, bagaimana sesuatu hal yang fiktif, hanya berupa nama, Apple, bisa saling menggugat dengan yang hanya sebuah nama lain, Samsung. Bahkan mereka berdua tidak punya mulut sendiri untuk saling memprotes di depan hakim ketua.

Inilah yang disebut sebagai realitas fiksi kolektif. Inilah realitas yang membuat kita berbeda dengan hewan. Inilah realitas yang membuat kita secara kolektif bisa menjadi makhluk paling dominan di muka Bumi. Realitas inilah yang membuat kita menjadi sangat teratur sebagai Warga Negara Indonesia.

Bahkan Yuval mempertegas jika sistem negara, uang, hingga nasionalisme, adalah termasuk bentuk-bentuk realitas fiksi kolektif karangan manusia. Dengan kata lain, akal manusia sangatlah cerdas sehingga mampu menciptakan realitas lain, di luar realitas objektif dan subjektif.

Realitas fiksi kolektif ini menjadi kunci penting pertumbuhan manusia, tidak hanya dari segi jumlah populasi, namun juga dari segi kemajuan teknologi dan pemikiran kita semua.

Salam Manfaat,

Onny

Tinggalkan Jejak Anda di Sini