Categories
Resensi Buku

Resensi Buku #27: Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia karya Yuval Noah Harari

Maaf jika saya harus mengatakan bahwa buku ini adalah salah satu buku yang paling sulit saya cerna. Banyak sekali hasil-hasil penelitian yang dibagikan oleh Harari, namun menggunakan bahasa dan alur yang rumit, yang seakan membuat kita lupa kita membaca buku ini sampai dimana. Tidak seperti Sapiens yang saya sangat suka karena inti cerita yang ingin disampaikan oleh Harari bisa dijabarkan dengan sangat enak dengan menceritakan berbagai hasil penelitian.

Namun, saya akan mencoba menceritakan kembali bagaimana maksud dari buku ini, dengan cara saya, dengan apa yang saya tangkap, dan bukan ala ChatGPT.

Mari kita bagi bahasan kita tentang buku ini menjadi tiga bagian sesuai dengan tiga bab besar buku Homo Deus ini, namun menggunakan judul yang saya pilih.

  1. Algoritma vs Kesadaran

Menurut Harari, setiap makhluk hidup di Bumi melakukan semua aktifitasnya sesuai dengan algoritma mereka. Sebagai contoh sederhana saja, jika kita ingin memasak telor ceplok, maka urut-urutan langkah yang kita lakukan untuk memasak telor itu adalah salah satu contoh bentuk algortima. Bahkan menurut buku ini, sesuatu hal yang lebih dalam seperti rasa senang, cinta, sedih, adalah bentuk lain dari algoritma yang merupakan efek dari reaksi berantai biokimia dan aliran-aliran elektrik dalam otak sehingga menciptakan sensasi-sensasi itu.

Maka sesuai dengan sejarah yang terjadi, kemampuan manusia dalam beralgoritma itu, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan berbagai macam realitas subjektif (—baca resensi saya ini tentang apa itu realitas subjektif) seperti hak-hak asasi manusia, imperialisme, humanisme, kerajaan, uang, dan lain sebagainya, sehingga sesuai dengan apa yang terjadi sekarang, manusia menjadi penguasa Bumi, menjadi satu-satunya organisme yang memegang kendali atas planet ini.

Kemudian, Harari menyoroti satu hal berikut ini: manusia bisa menjadi dominan di Bumi, karena mereka memiliki kesadaran yang manusia klaim digunakan untuk mengatur algoritma mereka sendiri untuk menguasai Bumi (secara komunal).

Nah, di bab ini banyak sekali Harari menyampaikan berbagai macam penelitian yang membahas jika sampai saat buku ini ditulis, belum ada penelitian ilmiah yang bisa membuktikan jika kesadaran manusia benar-benar ada.

Harari juga mengobok-obok perihal kehendak manusia yang selalu kita klaim bahwa kita memiliki kehendak bebas untuk melakukan apapun. Sedangkan dari berbagai hasil penelitian, keputusan seseorang ternyata bisa diubah oleh suatu mekanisme rekayasa canggih tertentu. Sehingga sekalipun subjek rekayasa tersebut merasa masih punya kuasa untuk memutuskan sesuatu, namun nyatanya keputusan yang ia ambil itu sejatinya adalah hasil rekayasa yang sudah diatur.

Satu contoh saja, seorang subjek tak berpengalaman diminta untuk mencoba sebuah simulasi peperangan tanpa adanya bantuan tertentun. Tak ayal, orang itu tentu saja hanya bisa bertahan beberepa detik saja, karena mati tertembak musuh.

Di situasi kedua, subjek yang sama diminta mengenakan sebuah helm khusus, yang berfungsi untuk merekayasa sinyal tertentu di otak. Ternyata, subjek itu bisa bertahan lebih lama, karena seolah-olah merasa lebih bernyali, sehingga sejak awal simulasi ia menyerang lebih dulu musuh di depannya, dan berhasil bertahan di simulasi perang itu lebih lama.

Percobaan ini menstimulus neuron-neuron khusus sehingga adrenalin meningkat, keberanian lebih kuat, hingga seolah tidak ada lagi keraguan dan ketakutan untuk menembak musuh di depan mata. Dengan kata lain, subjek masih merasa memutuskan untuk tidak takut menembak terlebih dulu, sekalipun sejatinya keputusan itu tergantung oleh sinyal dari helm yang ia kenakan.

Lalu jika demikian, Harari mengajak kita untuk merenungkan satu hal: jika di abad ini sudah ada algoritma yang bekerja tanpa kesadaran, yaitu AI, maka bagaimana nasib kesadaran itu? Apakah ke depan masih dibutuhkan keberadaan dari kesadaran — di dalam diri pembuat algoritma?

2. Ketika Manusia Menciptakan Makna

Pada bagian ini, Harari menyoroti kemampuan manusia dalam menciptakan nilai-nilai, konsep-konsep, tatanan-tatanan, yang membuat hidup manusia terstruktur di seantero Bumi. Nilai-nilai seperti liberalis individualis, hak asasi manusia, demokrasi, pasar bebas, menjadi konsep-konsep yang —menurut bahasa saya— membuat manusia di Bumi hidup rapi dan saling mengisis. Dan Harari menyebutkan jika nilai-nilai itu hingga tahun 2016 diterbitkannya buku Homo Deus, belum ada pengganti yang signfikan. Bahkan sistem sosialis yang juga disinggung di buku ini dianggap oleh Harari gagal menciptakan tatanan yang sesempurna liberalis.

Namun, di satu bab khusus, Harari menyebutkan jika di zaman modern ini seluruh manusia secara otomatis terikat dengan sebuah Perjanjian Modern. Inti dari perjanjian tersebut adalah jika seseorang ingin memiliki kekuasaan, maka ia harus kehilangan makna.

Maksudnya, jika di suatu masa lalu manusia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual sehingga mereka melakukan penaklukan, peperangan, atau mempertahankan wilayahnya karena motif spiritual tersebut, maka di era modern ini justru manusia harus rela meninggalkan nilai-nilai itu, agar bisa melangkah maju.

Contoh saja, agar produktifitas manusia bisa terus dianggap maju, atau meningkat, maka tidak ada cara selain terus melakukan eksploitasi, mengindahkan nilai-nilai spiritual masa lalu.

Puncak dari ditinggalkannya nilai-nilai spiritualitas tersebut, adalah lahirnya sebuah pemahaman baru, bahkan Harari menyebutnya sebagai agama baru, yakni agama humanisme.

Humanisme menekankan konsep hak-hak asasi manusia, meninggalkan nilai-nilai luhur masa lalu, hingga seolah kehendak diri manusia ini tak dapat dibatasi oleh aturan apapun.

Hingga umat manusia dengan humanismenya itu, sampai ke abad 21, ketika teknologi-teknologi modern lahir, seperti kecerdasan buatan, algoritma buatan, bioteknologi canggih, yang kemudian disebutkan oleh Harari sebagai gerbong kereta terakhir umat manusia menuju masa depan baru. Siapapun yang tidak ikut naik ke gerbong teknologi itu dipastikan akan tertinggal, sehingga tercipta jurang yang lebih dalam daripada jurang antara Sapiens dan Neanderthal, dan mereka yang masih di seberang jurang itu diyakini Harari akan punah.

3. Ketika Kecerdasan Buatan Lebih Mengenal Anda daripada Diri Anda Sendiri

Di bagian ini, Harari sangat menyoroti suatu masa ketika manusia akan kehilangan kendali atas diri mereka sendiri karena kemudahan-kemudahan sudah ditawarkan oleh kecerdasan buatan, bioteknologi, maupun sistem-sistem algoritma canggih.

Satu contoh yang diangkat di buku ini, adalah ketika Anda memakai jam tangan yang mampu mendeteksi detak jantung, dipadukan dengan data-data kondisi tubuh Anda lainnya ke dalam aplikasi kesehatan di ponsel pintar Anda. Lalu suatu ketika Anda merasa tidak enak badan, lalu mencari obat yang biasanya Anda konsumsi, yang ternyata, kecerdasan buatan di aplikasi kesehatan Anda menyarankan obat lain, yang secara perhitungan, kecerdasan buatan itu merekomendasikan obat tersebut setelah mengolah data-data detak jantung harian Anda, berat badan Anda, riwayat kesehatan Anda, hingga bahkan kebiasaan Anda bangun pagi pukul berapa.

Lalu apakah Anda akan tetap memilih obat yang biasa Anda minum, ataukah Anda akan mengikuti pilihan dari AI tersebut? Karena sangat jelas, AI tersebut mengenal Anda lebih baik ketimbang diri Anda sendiri.

Bayangkan jika sistema analisa AI tersebut diterapkan untuk berbagai hal lain. Televisi terbaru, ponsel terbaru yang cocok dengan gaya hidup Anda, pakaian dalam Anda, mobil listrik terbaru, pasangan hidup, hingga mungkin saja calon pemimpin Anda.

Penggambaran ini pada akhirnya akan menepis kemampuan manusia untuk berkehendak. Sehingga sekalipun Anda masih merasa memutuskan untuk memilih sesuatu, sejatinya itu adalah pilihan dari AI yang Anda percaya.

Lalu jika hal ini benar-benar terjadi, dimanakah letak kedaulatan hidup kita? Bukankah ini bentuk penjajahan lain?

Poin menarik laiin yang diungkap oleh Harari dalam bab ini adalah tumbuhnya dua kelompok besar manusia dengan perbedaan mencolok. Sebagian besar dari kita akan memilih nasib seperti ilustrasi di atas, “dikendalikan” oleh AI. Sedangkan sebagian lainnya, yang jumlahnya sangat sedikit, adalah mereka-mereka yang tidak dikendalikan oleh AI, justru merekalah yang mengendalikan AI-AI tersebut.

Siapakah mereka? Harari tidak menyebutkan siapa mereka. Hanya ia percaya akan ada kelompok orang seperti itu.

Lalu di akhir pembahasan buku ini Harari mengajak kita merenungkan tiga hal berikut ini:

  1. Apakah benar kita sebagai organisme hanya merupakan sekumpulan algortima saja?
  2. Manakah yang lebih penting? Kecerdasan ataukah Kesadaran?
  3. Apa yang terjadi di masyarakat, budaya, sistem komunal manusia, sistem bernegara, jika algoritma buatan ternyata mengenal kita lebih baik dari diri kita sendiri?

Silahkan jika Anda punya komentar jawaban versi Anda untuk mengisi di kolom komentar tulisan ini.

Saya pribadi, tertarik untuk menjawab pertanyaan poin kedua saja, sesuai dengan opini saya pribadi.

Meskipun menurut sains keberadaan dari kesadaran manusia belum terbukti secara saintifik, bagi saya, merawat kesadaran jauh lebih penting daripada kecerdasan. Mengapa demikian? Sederhana saja.

Karena hanya dengan kesadaran paripurna yang bisa mengontrol diri Anda untuk tidak dikontrol sepenuhnya oleh AI.

Dan sekarang, tinggal bagaimana caranya saya bertahan hidup agar tidak punah.

Salam Manfaat,

Onny

Tinggalkan Jejak Anda di Sini