“Fuadi menulis tentang perantauan terus,” begitu komentar teman saya di Facebook ketika saya mengunggah foto cover buku ini. Menurut saya, ya memang itu pengalaman dia. Sama seperti saya menulis tentang boiler, turbin, termodinamika, seputaran teknologi pembangkit listrik, ya memang itu pengalaman saya.
A. Fuadi sudah merantau sejak usia belasan, ketika menjelang masuk usia SMA lebih tepatnya. Oleh karena itulah ia sangat ahli menuliskan bagaimana perasaan seorang anak kecil yang ditinggalkan ayahnya di kampung halaman sang ayah.
Singkat cerita, Hepi anak Jakarta sang tokoh utama novel ini dengan terpaksa harus “diungsikan” oleh ayahnya sendiri, Martiaz sang orang tua tunggal, ke kampung halaman Martiaz. Hepi yang tidak naik kelas karena sering membolos menjadi alasan utama keputusan berat ini. Martiaz dengan terpaksa berencana menitipkan Hepi ke rumah kakek neneknya di Tanjung Durian.
Awalnya Hepi tidak mengetahui rencana ayahnya ini. Di musim liburan kenaikan sekolah ia diajak ayahnya pulang ke kampung halaman Martiaz. Tak disangka di saat-saat terakhir mudik mereka, Martiaz justru dengan tega meninggalkan Hepi di Tanjung Durian. Martiaz tidak mengajak Hepi pulang ke Jakarta.
Adegan inilah yang membuat Hepi dendam kepada ayahnya sendiri. Ia merasa tertipu, marah, dan berjanji mengumpulkan uang sendiri untuk membeli tiket pulang ke Jakarta. Ditemani dua teman baru Hepi, Attar dan Zen, mereka membantu Hepi mengumpulkan uang itu.
Berbagai petualangan pun mereka arungi. Termasuk ketika mereka bertiga berhasil meringkus komplotan pencuri yang meresahkan kampung halaman kakek neneknya. Trio inipun menjadi terkenal dan dianggap sebagai pahlawan di kampung Tanjung Durian.
Petualangan tak berhenti di situ saja karena ternyata masih ada masalah lain yang lebih meresahkan ketimbang komplotan pencuri tersebut. Bahkan Hepi bisa saja tewas terbunuh jika Pandeka Luko terlambat menyelamatkannya.
Cerita perkenalan Hepi dengan Pandeka Luko inilah yang menurut saya menjadi inti pesan moral yang ingin disampaikan A. Fuadi. Pergulatan perasaan Hepi yang merasa terbuang karena ia harus dibesarkan tanpa seorang sosok ibu, dan kini harus “dibuang” pula oleh ayahnya, seakan memuncak ketika ia mengobrol dengan Pandeka Luko. Hepi sadar bahwa ternyata ia bukan satu-satunya di dunia ini yang merasa terbuang. Cerita pengalaman hidup Pandeka Luko yang seorang pejuang kemerdekaan dan juga mantan anggota pemberontakan PRRI pada masa itu, menjadi semacam obat luka bagi Hepi.
Pergulatan emosi Hepi dan Pandeka Luko dengan apik diceritakan oleh A. Fuadi. Banyak pesan moral yang dapat diambil dari novel ini, justru ketika keduanya sedang mengobrol di rumah hitam.
Untuk masalah plot cerita, novel ini cenderung datar, satu arah, dan terlalu sederhana. Konflik cerita yang diangkat juga sangat sederhana. Namun demikian, cerita di novel ini masih cocok jika diangkat ke layar lebar. Saya bisa membayangkan film Anak Rantau sangat menarik jika mengisi liburan anak-anak sekolah.