Udara cukup terik di siang 5 Agustus 2019 itu. Masing-masing semangkok bakso menjadi pilihan kami yang tentu terlampau praktis karena warung bakso itu hanya sepuluh langkah dari cabang baru toko busana muslim yang baru dibuka oleh teman saya, Edo. Dan tentu saja, saya makan lebih lahap dari dia. Itu sebanding dengan ukuran tubuh kami. Kami seperti angka sebelas jika berdiri berjajar, hanya saja salah satu angka satunya tercetak bold tebal.
”Masih sering maag ‘kah?” Tanya saya melihat selera makan Edo yang tidak bersemangat.
“Iya mas. Biasa, kebanyakan kopi.” Jawabnya.
“Ya dikurangi.”
“Sulit lah. Tidur paling lama empat jam. Obatnya ya cuma kopi.”
“Yawes, yang penting dijaga kesehatannya.”
Ponsel Edo berdering di meja makan warung itu. Dan yang membuatku tertegun, ekspresi wajah Edo yang langsung berubah. Wajahnya memerah seketika karena tersedak dengan suapan sepotong kecil bakso. Ia terbatuk-batuk. Wajahnya kebingungan sambil meraih ponselnya.
”Siapa, Do?” Tanyaku heran.
Edo memberi gestur menggunakan jari telunjuknya agar aku merendahkan volume suaraku seraya berbisik rendah, “Investorku.”
Ia raih sehelai tisu untuk membuang potongan bakso yang membuatnya tersedak tadi. Ia mengangkat telepon itu tanpa meninggalkan posisi duduknya. Sepanjang telepon itu aku hanya melihat Edo mengangguk-angguk, sambil menahan batuk sekaligus mual, dan tidak banyak mengucapkan sesuatu.
Singkat cerita investor Edo memintanya untuk melakukan sesuatu yang ketika itu aku sendiri tidak paham. Yang jelas, selepas Edo menutup telepon, selera makannya hilang tanpa bekas. Ia tidak melanjutkan makannya. Wajahnya masih semerah tomat. Lalu ia menelepon salah seorang karyawannya yang ada di Malang untuk menyalakan satu komputer yang akan ia operasikan dari jarak jauh di posisinya sekarang.
Sepenting itu kah?
Dalam hatiku bertanya-tanya. Hanya sebuah telepon singkat bisa merubah arah momen itu. Dan itu bukan telepon dari istrinya, atau bapaknya, atau bukan pula ibunya. Bukan pula itu sebuah telepon yang memberitakan kabar buruk, hanya sebuah permintaan yang saya yakin itu sederhana, namun membutuhkan respon ekstra.
Yang paling membuatku heran adalah respon Edo yang ketika itu aku anggap berlebihan. Ada unsur panik — sempat ia meminta waktu sebentar untuk berpikir, dan yang terjadi adalah benar-benar diam untuk berpikir. Tersedak-sedak yang hampir tak pernah terputus. Dan mual-mual khas penderita maag akut.
Keadaan itu memancingku untuk ikut bepikir sejenak. Otakku yang lebih encer karena mulutku sudah selesai menghabiskan seporsi bakso, mengajakku berpikir ke sudut pandang lain.
Motivasi. Apa yang membuat pria kurus di depanku ini harus rela mengurangi jam tidurnya. Rela bermual-mualan karena maag. Serta kini harus ikhlas direpoti oleh permintaan sang investor. Lalu sebuah pertanyaan terlintas di dalam kepalaku saat itu juga.
”Do, tujuanmu gini ini sebenarnya ngejar apa sih?”
Mulut Edo sempat mengeluarkan suara aneh campuran antara batuk tersedak dengan sendawa maag sebelum menjawab dengan satu kata singkat tanpa menatapku, “Manfaat.”
Jujur. Dalam hati aku terperanjat mendengar jawaban itu. Masa’ sesederhana itu? Manfaat? Cuma itu? Atau aku yang belum paham maksud dari “manfaat”? Memang salah satu hadits Rasulullah ﷺ berpesan jika sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat, tapi — benarkah sesederhana itu?
***
Kembali ke momen sekarang.
Tahun 2022 lalu menjadi salah satu tahun yang bersejarah bagiku. Sebuah hal besar berhasil aku temukan. Penemuan yang membuatku tak henti-hentinya bersyukur. Penemuan ini berhasil merubah jalan pikirku. Penemuan ini juga membuat hatiku tak henti-hentinya merasa damai dan ikhlas menjalankan semua tanggung jawab. Dan yang paling mengejutkan adalah, penemuanku ini meningkatkan performa kerjaku di kantor, meningkatkan motivasiku untuk membesarkan bisnis keluarga, serta ke-istiqomah-an untuk menulis. Begitu banyak hal yang benar-benar di luar dugaan.
Beberapa bulan lalu salah satu manager kantor mendatangiku. Managerku itu bilang kalau aku dipanggil oleh managernya.
Ada apa ini? Tumben banget!
Singkat cerita, aku diminta untuk membuat sebuah video singkat, berdurasi kurang dari sepuluh menit, bernarasi, bercerita tentang beberapa hal mengenai improvement di departemen kami. Video itu akan diputar di depan para dewan direksi ketika mereka berkunjung ke kantor. Manager dari salah satu managerku itu beralasan karena jika memakai metode presentasi biasa, pesan yang ingin disampaikan oleh mereka kurang mengena, maka dari itu mereka memintaku untuk membuat sebuah video. Dan tentu saja aku menyanggupinya. Sebuah proyek yang benar-benar diluar pakem bidang kantorku, dan aku tahu aku mampu mengerjakannya.
Aku benar-benar tidak merasa terbebani ketika mengerjakan proyek itu. Seolah otakku merasa semakin terasah. Isi di dalam dadaku tak sedikitpun terasa sesak karena terbebani. Dan yang paling menyenangkan adalah, ketika kemampuanku ternyata mendapat tempat di tempat kerjaku.
Setelah belasan revisi, bahkan kurang dari dua jam dari waktu penayangan harus ada revisi, pada akhirnya video itu ditayangkan. Dan semua menyukainya. Tepuk tangan dari dewan direksi, lalu ucapan sesederhana “Good Part” dari Station Director, cukup membuat bangga di dalam dadaku.
Momen menyenangkan itu membuatku berpikir lebih dalam lagi. Ternyata, ketika keahlian kita yang notabene di luar dari bidang kerja kita mendapat pengakuan dari lingkungan kerja kita, itu terasa sangat menyenangkan. Namun jika lebih dalam lagi digambarkan, bukan hanya perasaan senang yang saya rasakan, itu terasa jauh lebih dalam daripada senang. Campuran antara senang, bangga, damai, namun sekaligus sangat rendah di dalam hati karena sadar jika keahlian itu adalah anugerah, yang hanya sebuah hadiah kecil dari Sang Maha Pemberi.
Lalu di beberapa waktu selepas itu, aku menonton salah satu video Youtube dari channel Pak Gita Wirjawan, sebuah episode End Game lainnya, yang kali ini berdiskusi dengan salah satu spiritualis asal India yang tinggal di Amerika Serikat, Sadhguru.
Di salah satu sesi, Sadhguru berujar sebuah kalimat yang langsung menghujam ke kepala saya, “Kesuksesan adalah seberapa baik Anda memanfaatkan tubuh dan otak Anda.”
Violla! Ini dia jawabannya!
Ini yang membuat hati saya lebih dari merasa senang ketika keahlian saya mendapat pengakuan. Inilah yang membuat saya lebih maksimal dalam bekerja. Inilah tujuan utama teman saya Edo melanjutkan setiap langkah hidupnya. Dan inilah penemuan terbesar saya di tahun 2022.
Saya menemukan makna dari kebermanfaatan diri.
Lebih dari dua belas tahun yang lalu saya memulai hobi baru. Menulis. Yang ternyata dari tahun ke tahun hobi itu berubah menjadi sebuah keahlian baru bagiku. Menulis menjadi satu sarana baru bagiku untuk merelevansikan berbagai titik kacau menjadi sesuatu yang jauh lebih bermakna. Dan rupanya, keahlian ini bernama storyteller.
Saya berani melabeli diri saya menjadi pembelajar storyteller atau narator, yang terus mengasah kemampuan agar tumbuh menjadi lebih baik. Tulisan-tulisan saya di situs-situs yang saya buat ternyata secara langsung mengasah kemampuan saya merangkai berbagai informasi menjadi sebuah cerita utuh yang runut dan sangat enak dibaca. Ataupun enak ditonton, jika narasi yang saya buat itu sudah berbentuk video.
Dan ketika keahlian saya itu mendapat pengakuan dari lingkungan kecil saya, momen itu berhasil menyalakan sebuah tombol di dalam hati. Tombol kebermanfaatan.
Memang, sejak mulai menulis, sudah banyak orang mengapresiasi tulisan-tulisan saya di situs-situs yang saya buat. Dan saya selalu merasa senang mengetahui hal itu. Tapi momen dinyalakannya tombol kebermanfaatan di dalam hati saya kali ini terasa sangat berbeda.
Tak hanya kemampuan saya dalam merangkai narasi yang terkena dampaknya, tapi kemampuan analisa saya, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bertindak cepat ketika ada masalah, intuisi, kemampuan itu semua seolah meningkat berlipat-lipat.
Ada sebuah dorongan kuat di dalam dada saya ketika tombol kebermanfaatan itu menyala. Sebuah dorongan yang membuat saya tersadar akan banyak hal. Bahwa semua sumber daya dan kemampuan yang saya miliki, yang saya sadar bahwa itu semua adalah anugerah dari Sang Maha Pencipta, dititipkan kepada saya supaya saya bisa mengolahnya menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain.
Jika saya diijinkan untuk menyusun serangkai kata-kata yang bisa mendefiniskan kebermanfaatan diri, maka hal itu adalah ketika seseorang dengan kesadaran diri mampu dengan tepat menggunakan akal, diri, dan sumber dayanya, untuk kebaikan bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Dan ketika dengan sadar saya terus-menerus “menghasilkan” sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, kedamaian dan kebersyukuran menyejukkan dada saya. Hormon-hormon kebahagiaan secara alami mengalir melewati jantung dan menyebar ke setiap sel tubuh. Saya semakin merasa sehat, dan tak bisa berhenti untuk kembali memberi manfaat yang lain.
Akhir kata, semoga tulisan panjang saya ini — sekali lagi — bisa memberi manfaat untukmu yang membacanya. Aamiin.
Salam Manfaat,
Onny.