Categories
Resensi Buku

Resensi Buku #8: The Industries Of The Future by Alec Ross

Di paragraf pertama ini saya harus menuliskan beberapa pesan: jika Anda sedang merencanakan bisnis jangka panjang hingga 20 tahun ke depan, baca buku ini! Jika Anda penggila sains, baca buku ini! Jika Anda mempunyai putra atau putri berusia remaja dan bingung harus mengarahkan mereka kemana, baca buku ini! Atau justru jika Anda adalah anak muda yang memiliki visi jauh ke depan, baca buku ini!

Buku ini sangat sesuai judulnya. Buku ini benar-benar membahas industri-industri apa yang akan besar di masa depan. Memang kedengaran seperti sebuah ramalan, tapi setiap apa yang dituliskan oleh penulis di buku ini kesemuanya berdasarkan data dan fakta. Alec Ross sang penulis pun juga menyampaikan berbagai prediksinya berdasarkan data yang ia kumpulkan dari seluruh penjuru dunia.

Oke, langsung saja saya ringkas beberapa poin penting yang disampaikan oleh buku ini.

Buku ini dibagi menjadi delapan bab besar, dengan lima di antaranya mengenai teknologi industri masa depan, satu bab menjelaskan tentang bagaimana geografi pasar dunia di masa depan, dan satu bab terakhir sebagai penutup.

Bab 1: Dunia Robot

Judul asli bab ini adalah Kedatangan Dunia Robot. Bab ini menjelaskan tentang bagaimana kondisi industri robot saat ini. Bagaimana Korea Selatan dan Jepang telah berhasil menjadi negara pionir pengguna teknologi robot. Menyusul Cina yang juga sudah mulai mengembangkan teknologi ini.

Alec dengan cerdas menggambarkan berbagai macam teknologi robot yang sedang berkembang di seluruh dunia. Di antaranya adalah penggunaan robot perawat lansia yang dikembangkan di Jepang, robot pelayan restoran, robot nano untuk pengobatan berskala seluler, mobil otonomos, kecerdasan buatan, bagaimana nantinya kecerdasan buatan bisa melebur dengan manusia, dan masih banyak lainnya.

Tak hanya melulu membahas teknologi robot apa saja yang sedang berkembang, namun Alec juga membahas bagaimana perkembangan teknologi ini dari sudut pandang ekonomi, geografis, dan sosiologis.

Satu fakta menarik yang berhasil ia ungkapkan dan terus terang saja, membuat mulut saya melongo. Dan saya serius mengatakan hal tersebut! Benar-benar melongo!

Cina, selama ini berhasil menekan biaya produksi berbagai komoditas menjadi sangat murah. Sudah kita ketahui bersama bahwa mayoritas gadget, sekalipun itu brand Amerika Serikat, selalu tertulis Made in China. Kenapa ini bisa terjadi? Ya karena harga produksi di Cina murah. Mengapa bisa murah? Karena harga buruh (dalam bahasa kita dikenal UMR) di Cina super murah.

Di sisi lain, tuntutan efisiensi pabrikasi dan harga yang harus terus-menerus murah, maka para fabrikator (baca: pengusaha fabrikasi) banyak yang ingin beralih menggunakan robot. Penggunaan robot memang membutuhkan investasi awal yang jauh lebih mahal, akan tetapi jika dihitung secara jangka panjang, investasi tersebut tentu lebih murah ketimbang membayar upah buruh per bulan dengan masih melekatnya risiko kerja buruh, risiko human error, dan lain sebagainya.

Maka yang sekarang terjadi, tidak hanya di Cina, adalah persaingan antara Robot vs Manusia (Buruh). Dan tahukah Anda bagaimana Pemerintah Cina menghadapi hal ini? Kebijakan Sosialis Pemerintah Cina, memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan wajib urbanisasi bagi penduduk desa. Sehingga dengan jumlah buruh di kota yang semakin banyak, maka sesuai prinsip ekonomi, ketika supply berlebih, maka ‘harga’ (baca: upah) buruh akan bisa terus ditekan.

Jujur, saya membaca fakta ini sambil merasakan ngilu di leher saya.

Dan bolehkah saya mengatakan bahwa Bangsa Indonesia, ternyata lebih merdeka daripada penduduk Cina?

Bab 2: Teknologi Genomik

Masuk ke bab kedua. Sungguh saya terheran-heran ketika membaca halaman demi halaman bagian ini. Kenapa teknologi ini bisa luput dari layar ponsel saya?!

Saya termasuk penggemar sains baru. Salah satu akun twitter saya (@technonews_id) mengikuti situs-situs seperti The Verge, CNet, Science Daily, dan lain sebagainya. Tidak hanya karena saya butuh bahan baru untuk artikel di technonews.id, tapi juga memang saya suka teknologi-teknologi sains yang baru. Tapi entah mengapa teknologi yang khusus dibahas dalam satu bab penuh oleh Alec Ross dalam bukunya ini bisa luput dari saya.

Oke!

Bab kedua buku ini menjelaskan tentang sebuah teknologi dibidang kesehatan bernama Genomik. Genomik adalah sebuah cara untuk memetakan, memindai, meng-kode-ifikasi, rentetan rantai DNA manusia ke dalam bentuk data yang bisa dibaca oleh semua orang.

Saya langsung to the point saja. Apa pentingnya teknologi ini? Begini gambaran yang berhasil saya rangkum.

Penyakit kanker, terbukti disebabkan oleh terjadinya mutasi di salah satu bagian ‘kode’ di dalam ranti DNA pengidapnya. Sejak diketemukannya fakta tersebut, maka teknologi ini terus dikembangkan dan akhirnya ditemukanlah cara untuk memindai DNA. Dalam buku ini diistilahkan pemindaian DNA sebagai sekuensi genomik. Dan patut Anda ketahui, teknologi ini sudah ada dan bisa diakses oleh semua orang!

Lalu bayangkan jika setiap pengidap kanker bisa melakukan hal ini!

Beberapa cc saja darah pasien dipindai untuk melakukan sekuensi genomik. Lalu beberapa saat kemudian sudah keluar hasilnya. Dan melalui data tersebut sudah diketahui DNA mana yang berpotensi menimbulkan kanker atau penyakit lainnya. Lalu dengan teknologi yang sudah ada saat ini, Anda hanya perlu meminum sebutir obat saja untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Tidak perlu lagi kemoterapi ataupun metode penyembuhan kanker lainnya. Ini dimungkinkan karena sekuensi genomik memungkinkan diagnosa yang lebih tepat sasaran, sehingga resep obat dapat diputuskan dengan lebih presisi. Selain itu pengembangan pembuatan obat minum yang lebih pas untuk kanker juga terus berkembang. Kesemuanya ini dijelaskan dengan sangat gamblang oleh sang penulis.

Namun teknologi ini tidaklah menyimpan risiko! Risiko yang paling meresahkan dan menakutkan banyak ilmuwan genomik adalah tentang kemungkinannya membuat kelahiran bayi yang terencana. Dalam artian, di masa depan, sepasang suami istri bisa dengan mudah menentukan buah hatinya harus sesehat bagaimana, memiliki karakter yang bagaimana, bahkan memiliki keahlian apa, kesemuanya menjadi mungkin untuk dilakukan.

Alec Ross menanggapi hal tersebut dengan menulis:

Saya juga mulai berpikir, jika kita tahu kecenderungan dan bakat anak sedari lahir, maka hal ini akan memengaruhi keputusan tentang cara membesarkan sang anak. Apakah Anda memutuskan tidak akan menempuh perguruan tinggi sebelum hari pertama sang anak bersekolah? Apakah kecemasan tentang penyakit yang akan datang membuat orang tua tidak membesarkan anak dalam lingkungan sosial yang normal?

Menurut saya sah-sah saja apa pendapat orang. Namun yang jelas masing-masing orang memiliki norma sendiri bagaimana ia harus bersikap dan bertindak. Termasuk bagaimana Anda akan menghadapi teknologi genomik yang diprediksi akan berkembang sangat pesat dan semakin murah dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.

Dibalik ‘kengerian’ tersebut, teknologi ini menyimpan sebuah pemanfaatan yang lebih bijaksana. Di tahun 2003, sebuah penelitian berbasis genomik berhasil melahirkan kembali spesies punah kambing gunung bucardo. Kambing jenis ini hanya hidup di Gunung Pyrenees dan dinyatakan telah punah pada tahun 2000. Namun sebuah penelitian berusaha untuk menanamkan sejumlah 57 embrio bucardo yang dikembangkan dari jejak DNA terakhirnya, ke 57 kambing biasa. Diantara kesemuanya, hanya satu yang berhasil lahir. Memang harus diakui kambing tersebut hanya mampu bertahan hidup beberapa menit saja. Namun patut diakui bahwa bisa saja, pulau Jurassic Park akan benar-benar bisa diwujudkan melalui teknologi genomik.

Eh,, bijak-kah melahirkan kembali T-rex? Kok agak ngeri saya ya. Hahahahaa…

Bab 3: Digitalisasi Uang, Pasar, dan Reputasi.

Berlanjut ke bab ketiga. Judul asli bab ini adalah Kode-ifikasi Uang, Pasar, dan Kepercayaan. Namun sedikit-lah saya geser tanpa menggeser maknanya, karena memang bab ini berbicara tentang hal-hal tersebut.

Digitalisasi uang memang sudah terjadi sejak lama. Semenjak bank menggunakan tinta dan kertas, maka uang yang sebelumnya berwujud ‘nyata’, berubah menjadi hanya bilangan angka di buku tabungan. Dan kini, uang sudah bukan lagi hanya coretan tinta di buku rekening, namun sudah semakin terdigitalisasikan menjadi kode biner 0-1. Kode-kode ini bisa diakses dari layar ATM, layar ponsel melalui internet banking, saldo uang di rekening digital semacam Go-Pay, OVO, Sakuku, dan yang lainnya, hingga yang sedikit diluar nalar adalah teknologi Bitcoin dan cryptocurrency lainnya.

Nah, yang menarik dibahas oleh buku ini bukanlah sesuatu yang standard-standard saja seperti yang saya sebutkan di atas. Digitalisasi uang, dan perekonomian secara umum, telah terjadi di Afrika. Kongo misalnya, negara ini memiliki perekonomian yang sangat tidak stabil karena faktor kontrol keuangan dari Bank Sentral-nya yang tidak berfungsi. Kondisi ini menyebabkan setidaknya 75% populasinya hidup hanya dengan uang senilai kurang dari satu US dollar per hari.

Namun satu fakta menarik adalah, tingkat penetrasi perangkat mobile penduduk Kongo sangat tinggi hingga mencapai 44% penduduknya. Sebuah alasan menarik berhasil dikuak oleh Alec Ross, bahwa ternyata penduduk Kongo menganggap perangkat mobile penting agar kerabat yang saling tercerai-berai bisa terus terhubung satu sama lain.

Tak hanya itu, perangkat mobile ternyata juga mereka gunakan untuk bertransaksi dan saling mengirimkan uang, disaat mereka bahkan tidak memiliki rekening di bank. Inovasi ini tidak hanya berkembang di Kongo, tapi juga di Kenya dengan sebuah aplikasi bernama M-Pesa. Dengan teknologi ini, maka perekonomian negara-negara Afrika tersebut meningkat, ditandai dengan kenaikan pendapatan di pedesaan sebesar 5 hingga 30 persen.

Nampak jelas bahwa financial technology, atau yang biasa kita kenal dengan fintech, bukanlah sebuah inovasi. Namun sebuah keniscayaan.

Mari kita coba berpikir lebih terbuka. Betapa mudahnya saudara-saudara kita di Pulau Halmahera misalnya, jika ingin membeli sebuah e-book dari aplikasi Gramedia Digital, hanya perlu membayar menggunakan Go-Pay, BukaDompet, Sakuku, atau OVO bahkan. Simpel, cepat, sekaligus aman. Pasti suatu saat nanti.

Poin ketiga (maaf saya balik supaya runutannya enak) dari bab ini yang menjadi sorotan Alec adalah teknologi digital untuk memanfaatkannya sebagai ukuran kepercayaan seseorang. Sebenarnya sih poin ini kita sudah mengenalnya dengan sangat lazim. Kita menyebutnya sebagai reputasi lapak. Simpel saja.

Kita sudah lama mengenal sistem reputasi ini. Saya masih ingat jaman masih jaya-jayanya cendol dan bata di situs Kaskus dulu. Saat itu hanya akun-akun peringkat tertentu saja yang bisa memberi predikat baik, yang sering diistilahkan dengan cendol yang seger-seger, atau peringkat jelek yang diistilahkan bata.

Namun itu dulu. Sekarang setiap orang bisa memberi penilaian sendiri ke setiap toko yang sudah bertransaksi dengannya. Tokopedia dan Bukalapak menjadi pioneer dan yang terbesar di Indonesia. Sayang sekali tapi, gara-gara platform ini juga sang legenda Kaskus menjadi tergerus. Tapi bukan itu saja sih seingat saya, tragedi penipuan rekber saat itu kayaknya jadi penyebab utama hancurnya FJB Kaskus, sekaligus lahirnya platform jual-beli daring modern.

Nah, poin kedua yang ingin saya catat di sini adalah berkembangnya teknologi Blockchain dan cryptocurrency macam Bitcoin. Mungkin tidak perlu saya bahas terlalu panjang lebar tentang tema ini, namun satu paragraf di bawah ini yang sebentar lagi Anda bacalah yang paling penting dari semua isi bab ini.

Teknologi digitalisasi keuangan, termasuk pasar, uang dan lain sebagainya, menyimpan satu risiko besar: diretas!

Maka dari itu, Alec Ross membahas masalah ini khusus di bab selanjutnya.

Bab 4: TNI-Angkatan Siber

Dunia yang semakin terdigitalisasi, tentu menyimpan satu kelemahan besar. Peretas.

Memang teknologi-teknologi canggih seperti blockchain misalnya, membuat seorang peretas tidak dimungkinkan untuk menambahkan satu digit nol di rekening OVO-nya. Namun peretas masih dimungkinkan untuk membobol sistem keamanan sebuah platform fintech, untuk memindahkan sejumlah angka dari rekening seseorang ke rekening pribadinya.

Masalah keamanan dunia digital tidak berhenti di situ saja. Pada Rabu, 15 Agustus 2012, satu USB flashdisk berukuran kecil yang sudah diisi virus komputer mematikan, berhasil melumpuhkan 30.000 komputer Saudi Aramco, sebuah perusahaan tambang minyak terbesar Saudi Arabia. Serangan siber tersebut berhasil melumpuhkan Aramco selama 2 minggu. Hal tersebut terjadi karena untuk memulihkan keadaan, komputer-komputer yang terinfeksi dan jaringan yang ada harus dipadamkan terlebih dahulu untuk pembersihan total. Beruntung saat itu harga minyak dunia tidak sampai terdampak. Namun dampak ke infrastruktur perusahaan diklaim sungguh sangat parah.

Nah, sebuah fakta yang diungkapkan oleh Alec Ross dalam buku ini, dan yang perlu kita waspadai bersama, adalah nilai kerugian dari sebuah serangan siber. Alec menyebutkan bahwa potensi kerusakan riil yang diakibatkan oleh serangan siber dalam satu tahun, jika ditotal dari seluruh serangan siber di dunia, dapat mencapai angka US$ 400 Miliar. Kalau US$1 setara 14.500 rupiah, maka kerugian tersebut setara dengan Rp 5.800.000.000.000.000,00. Duh, saya aja bingung bacanya gimana. Itu bacanya lima ribu delapan ratus triliun rupiah. Edaaaaaaannn kaaaaaan!!!!

Makanya, sudah saatnya kita punya satu angkatan baru di kubu TNI. Angkatan tersebut bisa saja nanti dinamakan Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Siber.

Memang pada tahun 2017 lalu TNI sudah mendirikan satuan khusus siber yang mereka beri nama Satuan Siber Tentara Nasional Indonesia. Kita patut apresiasi kesigapan ini. Namun tentu saja, melihat begitu pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, sudah saatnya pembentukan satuan ini harus terus dikembangkan lebih serius untuk menjamin keamanan dunia siber Indonesia, sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi digital kita.

Semoga Angkatan Siber segera riil, dan bukan hanya setingkat satuan tentara saja. Demi keamanan receh kita bersama. Aamiiin…

Oiya satu hal lagi yang penting. Siapa yang harus jadi tentara Angkatan Siber? Ya tentu saja para lulusan IT terbaik yang mengonsentrasikan pendidikannya ke masalah-masalah siber tersebut. Di sinilah peluang profesi masa depan yang menurut Alec Ross akan bisa menjadi profesi masa depan yang paling menjanjikan. Tak hanya harus sebagai bagian dari pengabdi negara, namun sektor swasta juga sangat potensial.

Begini tulis Alec dalam sebuah paragrafnya:

Jika seorang mahasiswa bertanya karier apakah yang paling mantap dan memberi gaji baik dalam masa kerja 50 tahun, saya akan menjawab, “Keamanan Siber.” Pertumbuhannya pesat, kebutuhan akan tetap ada,dan kebutuhan yang semakin tinggi ini sekarang menghadapi kekurangan talenta yang cukup besar. Kandidat yang memenuhi kualifikasi pun terlalu sedikit.

Berminat menjadi tentara siber? Sepertinya keren dan tampan! Heheee…

Bab 5: Sumber Daya Mahadata

Menurut saya, bab inilah yang harus dipahami oleh banyak pihak. Terutama Anda yang menjalankan bisnis, karyawan, atau mahasiswa sekalipun.

Hari ini sudah menjadi masa depan. Semoga Anda tidak bingung dengan ungkapan saya tersebut karena sudah banyak orang mengatakannya. Bahwa teknologi-teknologi modern sudah lahir saat ini, detik ini.

Salah satunya adalah konsep Mahadata (dalam Bahasa Inggris disebut Big Data). Mahadata adalah sekumpulan informasi dalam jumlah masif, yang bersifat acak, dan memerlukan alat atau proses khusus agar bisa menerjemahkannya. Pemrosesan mahadata agar bisa dimanfaatkan inilah yang biasa dikenal dengan istilah Big Data Analytics.

Nah…

Di kemajuan dunia digital, mahadata terus berkembang, terus berkembang, dan teruuuus berkembang, sehingga konsep mahadata dimanfaatkan oleh banyak kepentingan. Baik itu dunia industri, informasi, digital, manufaktur, pendidikan, pemerintahan, dan lain sebagainya. Bahkan dengan teknologi analisis modern, mahadata dapat menyajikan analisa real-time, yang tentu membantu pemilik data untuk mengambil keputusan cepat dan tepat. Atas dasar inilah Alec Ross berani menyatakan bahwa mahadata, adalah sumber daya masa depan. Siapa yang menguasainya, akan menang.

Satu contoh yang dijabarkan oleh Alec dalam buku ini adalah penggunaan mahadata dalam mengembangkan sistem agrikultura presisi. Begini ungkapnya.

Agrikultura yang presisi menjanjikan akan mengumpulkan dan mengevaluasi data real-time berdasarkan faktor-faktor seperti cuaca, air, level nitrogen, kualitas udara, dan penyakit. Semua faktor ini tidak spesifik untuk masing-masing pertanian atau lahan per hektar, melainkan spesifik ke setiap inci persegi lahan tersebut. Lahan akan dipagari barisan sensor yang memberikan puluhan bentuk data ke cloud. Data tersebut akan dikombinasikan dengan data dari GPS dan pola cuaca. Setelah informasi terkumpul dan dievaluasi, algoritme akan menghasilkan serangkaian instruksi bagi petani tentang apa yang harus mereka lakukan, kapan, dan di mana.

Sungguh, saya tidak berhasil menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana canggihnya teknologi pertanian di masa depan tersebut, sehingga saya harus mengutip langsung apa yang ditulis oleh Alec Ross.

Coba saja Anda bayangkan sendiri, bagaimana jika teknologi mahadata, atau bisa saya bilang teknologi Revolusi Industri 4.0 ini bisa diterapkan di sawah-sawah Indonesia.

Tapi ya itu, saya masih bimbang juga. Tak lain karena ketidaktahuan saya juga sebenarnya. Dilema di antara bagaimana memodernkan sektor pertanian Indonesia, sekaligus tantangan untuk meningkatkan perekonomian petani kita. Semoga di luar sana ada yang berani melahirkan terobosan digital penting (kalo ga salah dengar sudah ada di daerah Jawa Tengah) yang bisa mengangkat derajat para petani kita. Aamiin. Semoga saja.

Bab 6: Geografi Pasar Masa Depan

Bab ini diawali dengan sebuah bagian yang mungkin akan sedikit menyakiti beberapa pihak yang, katanya, ingin membangun Silicon Valley versinya sendiri. Anda pasti sudah kenal apa itu Silicon Valley. Sebuah kawasan di California, Amerika Serikat, yang dengan begitu istimewanya iklim di sana, sehingga mampu melahirkan berbagai macam perusahaan digital sukses berskala internasional.

Lalu apa yang membuat bagian awal bab ini akan menyakiti beberapa pihak? Simak apa yang Alec tulis dalam sebuah paragraf berikut.

Ketika saya ditanya, “Apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan Silicon Valley sendiri?” Tanggapan saya membuat banyak orang terkejut, tanggapan saya adalah “Anda tidak bisa.”

“Sudah terlalu terlambat. Silicon Valley telah lama menjadi pelopor penciptaan lingkungan yang sempurna untuk mendirikan bisnis internet. Namun, yang bisa Anda lakukan adalah memosisikan komunitas Anda untuk bersaing dan sukses di arena-arena inovasi yang belum terjamah”–itulah yang digambarkan buku ini.

Gamblang sekali apa yang Alec ungkap tersebut.

Nah… Lalu apa yang bisa kita ciptakan?

Alec menyebutnya sebagai Domain Keahlian. Apa lagi ini?

Jadi begini ringkasnya. Silicon Valley, ber-domainkeahlian-an digital, atau internet. Maka tentu masih banyak bidang lain yang bisa di-Silicon-Valley-kan. Misalnya saja bidang energi terbarukan, pertanian, atau apapun bidang yang lain.

Alec mengambil contoh bagaimana geografi pasar robot, genomik, dan dunia siber berkembang di area yang bukan dibuat untuk meniru Silicon Valley. Industri genomik berkembang di area sekitar perguruan tinggi Amerika Serikat. Sedangkan industri siber lebih sering berkembang di area pemerintahan. Serta industri robot yang sangat kita tahu, industrinya besar di Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.

Menurut saya, hal tersebut penting untuk diperhatikan. Karena konsep inilah yang akan membuat inovasi-inovasi di bidang lain bisa tumbuh dengan subur. Saya mencatat masih ada beberapa sektor potensial yang bisa dikembangkan, terutama di Indonesia. Seperti dunia pertanian misalnya, saya yakin dengan adanya berbagai universitas besar di Indonesia yang terkenal dengan jurusan pertaniannya, seperti IPB, Universitas Brawijaya, dan lain sebagainya, bisa berkembang menjadi mercusuar dunia pertanian.

Tapi ya butuh lompatan yang jauh memang. Mengingat teknologi pertanian kita saja masih tertinggal jauh dengan negara-negara yang justru lahan pertaniannya sempit. Memang benar, The Power of Kepepet memang nyata.

Oke kita lanjut ke poin selanjutnya.

Alec Ross sempat menjadi penasihat senior Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ketika masa pemerintahan Barrack Obama menjabat. Ia pun berkesempatan untuk ikut menjadi bagian Clinton mengarungi Bumi menjelajah banyak negara. Namun Alec bukan pakar politik, memang banyak bagian tulisannya yang berbumbu politik, tapi ia adalah pakar sains. Sehingga apa yang ia tulis di bukunya ini lebih condong ke dunia sains.

Namun ketika menginjak ke bagian yang keenam, Alec mengajak kita untuk membuka mata, melihat berbagai perbedaan nyata sikap politik beberapa negara, sehingga bagaimana sikap suatu negara akan mempengaruhi kemajuan industri teknologi di negara tersebut. Oleh karena itulah, menurut saya bab ini amat sangat cocok untuk dijadikan catatan penting bagi para politisi, pemangku jabatan di pemerintahan, calon wakil rakyat yang akhir-akhir ini sering kita lihat wajah cantik dan tampannya mentereng di banyak sekali baliho, hingga para pegawai-pegawai negeri sipil.

Alec mengambil sebuah contoh fenomena runtuhnya negara Uni Soviet di era 90-an, sehingga melahirkan negara-negara baru yang harus dengan sigap membenahi diri.

Estonia misalnya. Negara ini baru merdeka di tahun 1991. Namun saat ini, masyarakat Estonia menjadi satu komunitas yang paling inovatif di dunia. GDP-nya saja saat ini sudah mencapai 25.000 US dollar per kapitanya. Sebagai bayangan saja ya, bukan membanding-bandingkan, GDP Indonesia di tahun 2018 saja hanya senilai US$ 3.876,8 per kapitanya.

Satu hal yang menjadi sorotan Alec adalah, sikap pemerintahan Estonia yang membuka diri. Mereka bersikap terbuka terhadap setiap perubahan dan inovasi. Sebagai satu contoh saja. Dalam masa-masa pembangunannya, pemerintahan negara ini dengan berani melompati era mesin ketik, untuk langsung menggunakan teknologi daring sejak tahun 1998.

Satu inovasi kekinian dari Estonia yang menurut saya patut untuk kita simak adalah dibuatnya sebuah sistem bernama e-residency. E-residency ini dibuat untuk mendigitalisasikan semua layanan pemerintahan negara tersebut. Mulai dari proses pengesahan perusahaan yang super cepat, yang konon ungkap Alec hanya membutuhkan waktu lima menit saja, hingga mengurus kontrak dan pajak seseorang dari negara manapun yang ingin berbisnis di Estonia. Jelas sistem ini tidak dibuat hanya untuk penduduk lokal negara ini, namun juga terbuka bagi semua orang di segala penjuru dunia yang ingin berbisnis di Estonia.

Sebagai pembanding, Alec menceritakan bagaimana negara tetangga Estonia, yakni Belarusia, yang justru ketika runtuhnya Uni Soviet negara ini mengambil sikap tertutup. Belarusia menerapkan sistem politik tertutup sehingga menghambat lahirnya inovasi dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Alhasil tentu saja, Belarusia menjadi jauh tertinggal dari saudara tuanya Estonia.

Alec pun menyebutkan, bukan saatnya lagi kita berpikir bagaimana cara untuk membangun Silicon Valley-Silicon Valley yang lain, namun sudah saatnya kita membangun Estonia-Estonia lainnya.

Beberapa kali dalam buku ini Alec menyebut negara kita, Indonesia. Tenang saja, semuanya hal-hal positif kok. Dan yang paling panjang ada di bab keenam ini. Mengapa demikian?

Di bab ini Alec mengungkapkan bagaimana pentingnya memaksimalkan semua potensi penduduk sebuah negara tanpa terkecuali, tanpa memandang apa gender mereka, baik pria atau wanita. Ia pun menyebutkan bahwa jika sebuah negara membatasi potensi penduduk wanitanya, itu sama dengan mematikan separuh potensi negaranya. Kita sudah sama-sama tahu banyak negara berpenduduk mayoritas muslim yang membatasi hak-hak kaum wanitanya. Nah, inilah yang berbeda di Indonesia.

Alec nampak terkesan dengan bagaimana negara kita berkembang dengan tanpa memandang sebelah mata perbedaan gender. Di Indonesia, programer-programer wanita, duduk bersebelahan dengan pria. Mereka ada yang berhijab, ada yang tidak. Namun jelas, kultur ini menjadi modal penting memajukan negara kita.

Jujur, terbersit kebanggaan tersendiri saya membaca bagian ini.

Bab 7: Pekerjaan Terpenting di Masa Depan

Masuk bab terakhir, bab kesimpulan. Tidak perlu terlalu banyak saya membahas bab ini. Bab ini lebih terkesan sebagai bab penutup dari buku Alec Ross tersebut. Dan ia pun mengatakan, “Pekerjaan terpenting bagi saya adalah menjadi Ayah.”

Di bab inilah ia ingin berbagi dengan Anda, apa yang haus dilakukan oleh ayah masa depan. Berbagai kasus contoh ia ungkapkan di bab ini. Dan nampak ia ingin mengajak setiap ayah yang membaca buku ini, agar bisa mempersiapkan anak-anak mereka menghadapi industri-industri masa depan.

Fiuhhh…

Akhirnya selesai juga saya merangkum buku ini.

Jujur saja sedari awal memang saya tidak berniat untuk sekedar membuat resensi singkat buku ini. Saking bagusnya buku ini, dan memberi saya banyak sekali inspirasi dan masukan, maka saya putuskan untuk membuat resumenya. Agak panjang memang, jadi maaf juga buat Kamu yang sudah terlanjur kepanjangan bacanya, karena memang saya menulis resume ini untuk saya utamakan bisa bermanfaat buat diri saya pribadi. Yaaa, syukur-syukur kalo ada yang baca dan bisa memberi manfaat buat Anda, tentu bisa jadi pahala mengalir buat saya. Aaamiin. Semoga.

Tinggalkan Jejak Anda di Sini